BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Sebagai Pelestarian Nilai
Bahwa pendidikan adalah sebagai proses rekayasa
social (Social Reengenering Process) sejatinya merupakan instrumentasi budaya dalam melanjut-kembangkan peradaban, artinya kecuali berperan besar dalam mendorong perkembangan kemajuan IPTEK adalah juga tetap pada fungsi dasarnya sebagai penjaga dan pelestari nilai tujuan hidup manusia, yakni sebagai insan yang bukan hanya harus cerdas mengatasi tuntutan dunia material bagi kebutuhan jasmaniah-ragawi,
tetapi juga cemerlang dalam memahami, mendalami keluruhan makna hidup sebagai makna manusia sebagai spiritual. Kehidupan manusia dalam memenuhi kehidupannya dapat berbuat
liar, semata-mata karena memenuhi kebutuhan hajat dasar, yakni sekedar berupaya
melepas diri dari ancaman bencana yang menghantui keamanan dan kesejahteraan hidup
oleh karena perubahan cuaca. Oleh karena itu, ditengah kemelut dunia dan krisis
panjang kehidupan kini, sebagai anak bangsa yang harus membaca catatan sejarahnya
begitu penuh luka dan tetasan darah.
Di tengah persaingan dalam melepaskan diri dari ancaman krisis, semua bangsa termasuk Negara-negara dunia ketiga yang baru bangun dan merdeka di abad 20,
meyakini dan memastikan pembangunan
“pendidikan” sebagai investasi.
Artinya, manajemen makro
yang dilakukan Negara atau badan-badan di dalam masyarakat tidak melakukan keperluan ambil untung di depan (profil
taking action) melainkan kemudian hari. Bahwa pengabaian pendidikan telah berubah kemerosotan. Demikian seharusnya,
sesungguhnya pengalaman pahit bangsa ini cukup member pelajaran. Kenyataan sejarah kemudian membuktikan bahwa krisis ekonomi-moneter (1997)
hanyalah indicator materi hingga mendorong terjadinya perubahan social
melalui repormasi politik (1998). Tetapi reformasi politik, diharapkan berimplikasi pada reformasi di sector
lainnya tidak semata hanya mendorong terjadinya reformasi kultural. Karena kultur adalah intisari dari buah pendidikan secara makro. Pendidikan sebagai alat perjuangan peningkatan mutu, kesiapan dan kesanggupan bersaing termasuk tantangan maju bersama dunia– tanpa saling dikalahkan dan mengalahkan. Untuk itu,
pendidikan sebagai kata kuncinya harus dapat ditempatkan dan dimaknai sesuai dengan
cita-cita luhur kemanusiaan, yakni pendidikan yang berorientasi maju pada penguasa
ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi, dan tujuan hidup mulia sebagai umat
manusia dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan dalam makna dasarnya sebagai upaya memanusiakan manusia dalam konteks universal, dan secara nasional mesti berarti juga sebagai upaya meng-Indonesiakan segenap anak bangsa Indonesia,
selain tetap melestarikan nilai-nilai etniknya sendiri.
Secara konseptual dan kontekstual harus menjadi program yang
utuh, fungsional dalam rangka pembentukan karakter manusia Indonesia yang
bukan hanya cerdas dan terampil tapi juga berjiwa sehat dan berakhlak mulia. Artinya pendidikan secara keseluruhan mampu pada masing-masing subtansi disiplin keilmuan sendiri harus dapat mengaktualisasikan dan mengartikulasikan capaian nilai dalam konstruks pemahaman (mental) dan prilaku diri (moral) yang
diharapkan oleh cita dan citra luhur (kultural)
masyarakat dan bangsanya. Keterkaitan antara konsep
nilai, moral termasuk norma dan pendidikan memetakan hubungan dan keududukan yang
tak terpisahkan, dimana konsep nilai menjadi kerangka dasar bagi kajian moral,
atau moral menjadi subtansi penting yang menempati posisi sentral di dalam kerangka
nilai, dan norma sebagai kumpulan aturan yang keberadaannya menjadi petunjuk kemana
sebuah pendidikan atau moral akan ditunjukan. Maka
moral adalah sebagai salah satu bagian dari struktu rnilai, yakni termasuk dalam cabang etika. Etika dan moral
dibentuk oleh kesepakatan atas keyakinan yang mengikatnya, yang berfungsi menjadi
pedoman ekspresi nilai dan aktualisasi moral masyarakat di dalam sebuah lingkungan
budaya pendudukungnya.
Moral secara harfilah berasal dari kata Mores atau Mosyang berarti adat istiadat, kebiasaan atau cara hidup. Sedangkan dalam bahasa Yunani disebut Ethos yaitu suatu kebiasaan, adat istiadat. Dengan latar belakang yang sama asal-usulnya, kedua istilah tersebut yakni moral dan etika kerap menjadi sinonim dalam percakapan keseharian. Namun para ahli membedakan konteksmya, dimana
moral menekankan kepada perbuatan atau tingkah laku manusia sedangkan etika menekankan kepada tata cara atau suatu ketentuan yang harus diikuti atau dipedomani dalam melakukan suatu tindakan.Dengan demikian, moral lebih dimaksudkan kepada perbuatan praksis manusia sedangkan etika dilahirkan sebagai aturan atau norma yang memeberikan perintah moral untuk dijalankan oleh setiap anggota komunitas pendukung sebuah system budaya dan peradaban. Maka,
pendidikan mengambil peran menjadi cara-cara atau alat dan system bagi tujuan peningkatan dan pengembangan kebudayaan yang di dalamnya telah merupakan pengejawan tahan upaya penanaman dan pengembangan nilai-nilai yang dalam makna luas tersebut. Dengan demikian, pendidikan secara umum dan pendidikan secara khususnya, menududuki peran sentral dan strategis dari hajat pembangunan /
pembentukan manusia
Indonesia seutuhnya, baik dalam skala nasional hingga dalam dimensi yang lebih luas/universal.
B. Pendidikan dan Perubahan Sosial
perubahan sosial sebagaimana tampak kecenderungannya
dari masa ke masa, dapat terjadi seperti gejala liar fenomena alam lainnya,
dimana manusia sebagai mahluk alamiah dihadapkan pada berbagai tuntutan hidup seiring perubahan alam, dan
sejarah sosialnya. Faktanya berrlangsungnya eksploitasi manusia oleh manusia hingga bangsa atas
bangsa lain dan kecenderungan umum manusia memanfaatkan sumber daya alam secara
semena-mena. Adalah sejarah nyata yang tak dapat dibantah dan karenanya terus
berlangsung sampai entah kapan.
Perubahan sosial yang terjadi didorong kemajuan
kecerdasan dalam menemukan IPTEK telah mengantarkan perubahan spektakuler dalam cara hidup.
Terjadinya perubahan tersebut yang berlangsung kemudian secara masal dapat diterima sebagai bagian dari
kemajuan pendidikan. Karena pengembangan IPTEK pada awalnya merupakan hasil
riset di universitas, meskipun kemudian riset universitas menjadi jauh ketinggalan oleh kompetisi bisnis yang dikembangkan dunia
korporasi. Pendidikan,setidaknya punya peran dalam menstransformasikan dasar-dasar dan hasil temuan IPTEK ke tangan
manusia secara lebih masal. Tetapi, pendidikan menjadi instrumentassi tak
berjiwa ketika dibuat dan dikembangkan oleh kepentingan teknis manusia dalam mengusasia hajat hidup sebagaimana
pantasnya dilakukan oleh kanak-kanak.
Akibatnya perubahan sosial yang terjadi lebih memberikan akses negatif, dan
menjauhkan dari tujuan mulia hidup sebagai umat manusia. Jika dari sejarah
panjang kita mengenal hanya kekalahan semata di mata dunia hingga kini. Pendidikan
adalah investasi untuk menggapai kemenangan masa depan. Mengabaikan pendidikan,
sama artinya dengan membiarkan diri bangsa ini tidak tahu bagaimana menghadapi
hari depannya, dan itu adalah sebesar-besarnya kejahatan terhadap kemanusiaan
dan anak bangsanya sendiri.
Untuk menggapai perubahan yang diharapkan bagi suatu
bangsa, pembangunan pendidikan menjadi kata kuncinya. Menurut Kuntowijoyo
(1997) terdapat tiga tahapan berkenaan dengan perubahan masyarakat, yaitu:
Pertama
tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat
madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau
antara masyarakat dengan negara. Karena ada pemilihan ini, maka dapat terjadi
negara tidak memberrikan layanan dan perrlindungan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya. Kedua tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani
sudah berhasil dibangun, dan ketiga, tahap masyarakat etis ( ethical society)
yang merupakan tahap akhir dari perkebambangan tersebut”(Jalal & Supriadi, 2001:42)
Pandangan Kuntowijoyo diatas, boelh
jadi dipengaruhi teori Gramsci yang dengan disengaja dipakai sebagai titik
masuk teori politik Islam ke teori politik barat modern. Pilihan tersebut pada
tempatnya, karena untuk memahami struktur, kultur dan dinamika perkembangan
masyarakat bangsa kita tidak terlepas daari dua kekeuatan yang mempengaruhinya
; pertama, pekembangan ilmu pengetahuan barat melalui perhubungan dengan
bangsa-bangsa eropa dimasa kolonial hingga global dimasa kini; kedua
ko-eksistensi Islam di dalamnya, dimana sebagian terbesar anak bangsa ini,
merupakan pemeluk agama Islam sejak silam, selain menerima pengaruh
perkembangan kebudayaan Asia lainnya. Penggunaan istilah madani, diambil dari
makna dan aktualisasi kehidupan masyarakat prural yang hidup tenteram aman dan
damai dalam puncak peradaban Islam di kota
Medinah di jaman Nabi Muhammad SAW
Jadi, jika itu menjadi cita-cita kita sekarang,
seharusnya gayung bersambut dengan kekuatan
dalam harapan masyarakat, yang notabene telah memiliki kultur dan
keyakinan yang menjadi sumbernya, yakni Islam; selain revitalisasi kebijakan
operasional pembangunan yang harus digerakan oleh negara , karena negara adalah
struktur sedangkan masyarakat adalah
supra strukrtur. Secara teoritik masyarakat terbentuk oleh karena kesaadaran,
sedangka negara oleh kepentingan, kesadaran masyarakat dan kepentingan negara,
jika dibentangkan kembali di atas nilai-nilai yang telah disepakati,
sebagaimana tertuang dalam dassar dan
tujuan negara., yang sesungguhnya merefleksikan keluhuran cita-cita, kultur
masyarakat dan bangsa ini yang notabene kuat beragama Islam. Tidak harus ddapat
kendala yang berarti dalam meneliti pembangunan ke arah perubahan yang di
cita-citakan. Untuk itu, masyarakat dan negara sebagai konstruksi
kelembagaannya dipersyaratkan mampu membangun hubungan sinergik, melalui kiprah
bersama membawa anak bangsa dan naib
masa depannya, kecuali dengan pendidikan tak ada jalan lainnya. Karena
perubahan yang kita harapkan adalah perubahan
kearah peningkatan mutu kehidupan, bukan perubahan tak terkendali yang
tidak kita inginkan seperti krisis dan bencan. Perubahan kearah peningkatan
mutu hanya mungkin dicapai jika bangsa ini mampu belajr secara cerdas menyikapi
tuntutan yang selalu ada. Itu semua mustahil dicapai tanpa pendidikan.
Dengan demikian, pendididkan dan perubahan sosiaal
merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dimana pendidikan selalu
ada dalam masyarakat pada tingkat sederhana sekalipun. Diman ada dua
individu atau lebih secara kontinnyu
membuat saling berinteraksi yang menetap sebagai sebuah community, pendidikan
terlahir dengan sendirinya, pertama tentu saja sebagai bagian dari naluri,
namun selajutnya tantangan hidup manusia yang terus berkembang telah,
memberikan pengalaman pembelajaran mulai dari penemuan empirik hingga hasil kemampuan refleksi kekuatan
akal dan pikirannya. Selanjutnya sebagai salah satu hasil perkembangan yaitum
yang berjalan terus menerus, hasil pendididka mendorong terjadinya perubahan
sosial, sselain perubahan sosial itu sendiri dilahirkan oelh pengalaman buruk
kolektif yang dilakukan oleh kecenderungan banyak orang didalam masyarakat.
C. Pengembangan Nilai baru dalam Paradigma
Pendidikan Nasional Ke depan.
Sungguhpun pengembangan nilai dalam
pendidikan sejak lalu telah dirumuskan dengan sebaik-baiknya, kemudian
dikuatkan oleh keputusan politik menjaddi landasan yuridis, serta direstui
beersama menjadi komitmen moral bangsa. Nilai-nilai yang kita yakini bersama,
bukanlah sebagai antipasi ke depan, dan tiadalah tentu berharap.
Menyongsong laju perjuangan ke
depan, bagi setiap diri atau kelompok manusia atauua lebih besar lagi sebagai
satuan bangsa tetap diperlukan banyak hal selaain tenaga (sumberdaya). Dalam
beberapa tahun terakhir selalu menempatkan indeks mutu bangsa ini beberapa digit dibawah peringkat negara
tetangga. Terhadap laporan tidak menggembirakan tersebut masih jadi pertanda
baik, jika menumbuhkan sedikit rasa gundah pada setiap diri kita, sebab jika
tidak, dapat dicemaskan jangan-jangan benar adanya bahwa kita tenhgah
kehilangan nasionalisme. Jika ini yang terjadi, bangsa ini harus menyadari
tengah berada pada krisis paling mendasar, yaknni krisis nilai. Karena itu,
reformasi yang menjadi pilihan jaman ini
harus memulai menata kembali kedudukan nilai dalam strategi pembangunan
nasional kita, tetapi bukan nilainya itu
sendiri. Sebab nilai dasar keyakinan kita sebagai sebuah bangsa, yakni
Pancasila telah final sejak awal pendirian negara. Tetapi modeel implementasi,
aktualisasi dan artikulasinya dimungkinkan diperbaharui seiring pergeseran
jaman dan perkembangan yang terus berubah.
Untuk itu, kembali membangun
kesadaran kebnagsaan tidaklah merupakan
langkah mundurr, karena itu telah dicetuskan Bung Karno pada awal kemerdekaan .
kemunduran justru terjadi ketika kebijakan pembangunan bangsa ini mengejar
pertumbuhan ekonomi semata, anak bangsanya mabuk produk teknologi tinggi
sehingga besar menjadi pasar konsumsi. Maka nilai yang menjadi acuannya bukan
lagi etos menjaga harga diri, melainkan segala cara yang memudahkan urusan dan
perkara. Membangun kembali karakter bangsa sungguh tidak semudah merumuskan
kata-kata. Tetapi memulai mencari dasar-dasarnya paling tidak lelah dan dapat
terus dilakukan, seperti diwacanakan dalam konferensi pendidikan Indonesia di
jakarta (1999), yang dilanjutkan dalam diskusi Kelompok Kerja Pembaharuan
Pendidikan di Bappenas ( jalal,2001). Dari wacana pertemuan para ahli tersebut
terangkat kembali sejumlah konsep nilai, mulai ari nilai dassar pada konstruk
nilai yang dapat dipandang baru dalma arti aktualisasinya bagi perilaku
kolektif kita sebagaik sebuah bangsa.
Berikut ini, dapat dipetikan
deskripsi nilai dalam format pencarian kembali nilai pendidikan nasional untuk
Indonesia masa depan Nilia-nilai
dimaksud adalah :
1) Nilai-Nilai Dasar (Basic Values)
a) Nilai dalam Sumber Legal
Sejak bangsa Indonesia memploklamasikan kemerdekaan
pada tanggal 17 agustus 1945 dan menetapkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan
masyarakat dan juga berfungsi menjadi sumber legal. Nilai-nilai yang
ditampilkan merupakan nilai-nilai ideal
: Pancasila, dan juga nilai-nilai praktis
(practical values) seperti pengakuan hak warganegara untuk memperoleh suatu
pendidikan, hak mendapatkan perlindungan bagi yang terlantar dan jompo , serta
dengan mengangkat Bhinneka Tunggal Ika
para pemimpin memilih konsep politik budaya pluralisme yang men-dahului
zamannya.
b) Nilai-nilai Inti(Core Values)
Nilai Inti
bagi bangsa kita saat ini secara universal haruslah pandangan yang dilandasi
dengan keyakinan untuk menjadi dasar perbuatan yang membebaskan dari segala
ketergantungan. Ini adalah sebuah realitas bahwa setiap orang sejak lahir hingga
dewasa ada dalam hubungan saling bergantung, antara manusia dengan manusia,
manusia dengan kelompok sebagai makhluk sosial dan juga antara manusia dengan
lingkungannya. Kelebihan dari sifat manusia itu sendiri yaitu dapat berkembang
utuk mengurangi sifat ketergantungan. Proses pendidikan berfungsi untuk
mendewasakan manusia. jika setiap individu memiliki potensi untuk menyelesaikan
sebuah permasalahan berarti individu tersebut mengurangi ketergantungan, dan
jika kemampuan tersebut dikembangkan maka pendidikan berhasil mencapai satu
kemenangan.
c) Nilai-nilai inti yang ideal (ideal core
Values)
Meskipun kemandirian memiliki nilai positif karena
bermakna membebaskan siapa saja dari ketergantungan kepada hal-hal yang
seharusnya tidak perlu jika potensi di dalam dirinya ada. Tetapi itu baru
bernilai plus satu, nilai inti ideal
tentu saja mensyaratkan nilai plus lebih dari satu, atau dari sekedar bertahan,
melainkan harus mampu menang dalam menyerang. Itu artinya, memiliki kekuatan
diri untuk membebaskan dari ketergantungan saja tetap akan kalah oleh kemampuan
dalam mengatasi persaingan yang menjadi tuntutan jaman kini dan ke depan.
Sehingga, merujuk pada tuntutan kebutuhan dan tantangan hidup kini dalam
menghadapi persaingan, bukan lagi nilai potensial sekedar bertahan, melainkan
nilai aktual yang dapat mengatasi dan memenangkan persaingan. Dalam kerangka
itu, maka nilai inti ideal yang harus
dikembangkan dalam pendidikan nasional, adalah bukan lain dari nilai keunggulan
(excellence), sebagaimana pandangan pokja dalam petikan di bawah ini :
Kemandirian bukan merupakan nilai
inti yang ideal untuk masa depan, melainkan merupakan nilai inti yang bersifat
antara (intermediate core value). Yang merupakan nilai inti ideal untuk masa
depan adalah keunggulan (excellence). Dalam proses pendidikan, Noeng Muhadjir
menyebutkan “meta motif sukses” atau “quantum learning” menurut Bobbi De
Porter. Intinya adalah usaha untuk menjaga agar tetap sukses, motivasi untuk
terus berprestasi, atau prestasi yang diperoleh dijadikan energi untuk meraih
prestasi yang lebih tinggi lagi, sehingga dapat mencapai keunggulan.
d) Nilai-nilai instrumental (instrumental
values)
Selain nilai inti dan nilai inti ideal, penting juga
memahami kedudukan nilai instrumental. Nilai instrumental memenuhi maknanya
ketika nilai-nilai tersebut menjalani fungsi sebagai antara. Sebagai contoh,
pokja yang menggambarkan penerapan nilai-nilai tersebut dalam tataran yang
beragam, seperti : “ada yang dapat diterapkan sebagai nilai nilai kehidupan
(living values), nilai-nilai praktik (practical values), kepribadian terpuji
atau kebajikan (virtues), dan perilaku terpuji (conduct), tetapi dapat pula
diterapkan pada tataran etiket.”
Untuk kepentingan pendidikan kedudukan nilai instrumental ini dapat berguna
dalam membina kepribadian individu dan satuan sosial untuk mendukung nilai inti (kemandirian) dan lebih lanjut
menunjang nilai inti ideal
(keunggulan).
Terdapat 8 nilai instrumental, yang disebutkan pokja
antara lain, seperti nilai-nilai : otonomi
(autonomy), kemampuan atau kecakapan (ability), kesadaran demokrasi,
kreativitas, kesadaran kebersamaan kompetitif, estetis, bijak (wisdom), serta
bermoral.Kedelapan nilai-nilai tersebut dalam aktualisasinya satu sama lain
diisyaratkan harus saling berkaitan sehingga bermakna saling bersinergi. Untuk
itu pertautan nilai-nilai tersebut seperti dijelaskan pokja dapat dipetikan
dengan meringkas beberapa bagian di dalamnya, dalam rekonstruksi berikut:
Terhadap nilai instrumental ke delapan, seiring
rasio reformasi atas ketidak berhasilan bangsa ini membangun moralitas di masa
orde lalu (orde baru) pada tempatnya timbul pertanyaan, dan jawabnya tentu saja
bagi kita adalah: bahwa sepanjang masih memilih kebersamaan dan keberbedaan dan
kebersatuan dalam wadah NKRI, Pancasila bukan saja tetap menempati kedudukannya
sebagai Dasar Negara, tetapi juga masih menjadi acuan moralitas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Indonesia. Bahwa jauh pada identitas masing-masing diri kita harus memilih
keteguhan sistem kepercayaan dan tata cara yang berbeda, hal tersebut tidak
menjadi kendala bagi penyatuan bentuk moralitas
nasional Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan delapan
watak (otonomi, kecakapan, demokratis, kreatif, kompetitif, estetis, bijak, dan
bermoral) tersebut, diharapkan dapat ditumbuhkan lebih lanjut tiga nilai
instrumental lainnya, yaitu harkat (dignity),
martabat (pride), dan keunggulan (excellence). Dengan demikian, nilai inti
(kemandirian) dikembangkan yang isinya mencakup sebelas nilai instrumental
dengan substansi lima living values Pancasila
untuk menuju keunggulan. Pada era global, keunggulan hendaknya mengimplisitkan
makna ‘mampu bersaing’
2) Nilai-nilai aktual dalam perilaku
Ke
delapan hingga sebelas nilai-nilai instrumental tersebut di atas dikembangkan
untuk menjadi acuan konseptual dalam memberi arah pada kiprah pendidikan baik
secara makro hingga tataran mikro di lapangan persekolahan / lembaga
pendidikan. Selanjutnya konstruksi konsep nilai-nilai tersebut harus
diproyeksikan pada dimensi aktual dalam wujud perilaku hingga menjadi
kepribadian setiap manusia Indonesia sebagai individu warga negara atau warga
masyarakat baik pada tataran lokal, nasional hingga global.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar
yang menjadi rujukannya, maka wujud perilaku dan kepribadian yang diharapkan
terbentuk melalui proses pendidikan multy
system di dalam dinamika pembangunan nasional kita ke depan, diharapkan
mengkristal pada standar tata-laku ideal, yang oleh Pokja disebut sebagai
‘perilaku terpuji’ (Conduct) dan
kepribadian terpuji (Virtues).
(a) Perilaku Terpuji (Conduct)
Sebagai bangsa yang terbingkai
dalam kebinekaan namun tetap tersatukan sepanjang sejarah hingga kini, setiap
diri kita sebagai anak (suku) bangsa telah memiliki, mewarisi perilaku dan
kepribadian terpuji yang dapat terus dikembangkan, dimodifikasi, dikompilasi,
dipadukan selain harus diakui ada sebagian di dalamnya jenis dan sifat perilaku
dan kepribadian yang seharusnya sudah ditanggalkan. Hal tersebut, dikemukakan
oleh Pokja bahwa: “keunggulan perilaku dan kepribadian terpuji masing-masing
suku, budaya daerah, dan agama dapat dikompilasi menjadi perilaku dan
kepribadian unggul bangsa Indonesia. Dengan sejumlah modifikasi, baik dalam
makna antar budaya maupun dalam makna antar era atau zaman, dapat dibangun
keunggulan terpuji”. Dalam kerangka itu, pokja mengangkat sebuah contoh,
misalnya “kerja keras” yang kita miliki tersebut memberi sumbangan yang efektif
dalam membangun keunggulan bangsa. Sebagai contoh, Pokja mengilustrasikan
sebuah gambaran sebagai berikut:
Perilaku kerja keras
merupakan perilaku terpuji. Kerja keras yang materialistik perlu dimodifikasi
menjadi kerja keras yang lebih menghargai harkat martabat manusia. Hasrat
belajar tidak cukup dengan belajar saja, tetapi perlu dilengkapi dengan visi tentang belajar yang lebih strategis bagi masa depan.
Kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan memilih masa depan perlu
dilandaskan pada pengakuan kebebasan dan otoritas orang lain untuk berbuat
sama, dan kesemuanya dalam konteks berperilaku yang jujur dan adil. Dalam
konteks reformasi sekarang ini, pengakuan akan otoritas yang perlu dikembangkan
adalah pengakuan otoritas yang dibangun dari akar rumput (grass root), bukan otoritas ambisi atasan.
(b) Kepribadian terpuji (Virtues)
Demikian pula
dalam ujud kepriadian terpuji, ketika kecenderungan perilaku menjadi ciri
individu atau satuan etnik tertentu. Sebagai anak bangsa yang besar kita telah
saling mengenal karakteristik positif dan boleh dimasukkan ke dalam jenis
kepribadian terpujisekaligus tidak terpuji pada sisi lainnya. Sebagai contoh,
keberanian dan keteguhan sifat dan sikap pribadi/etnik tertentu dalam membela,
mempertahankan kehormatan diri, merupakan kepribadian terpuji di satu sisi
tetapi juga bermuatan tidak terpuji kasus-kasus yang jarang terjadi dalam mempertahankan
tradisi Carok. Selengkapnya dalam membangun kepribadian nasional terpuji, kita
dapat mengembangkan agar kecenderungan perilaku yang telah menjadi cirri dan
sifat kepribadian nasional. Untuk ilustrasi ini selengkapnya dapat petikan
ilustrasi pokja sebagai berikut:
“…bahwa sejumlah etnik memiliki
kepribadian spontan dan dendam, etnik lain memiliki kepribadian tertutup dan
dendam, dan etnik lain lagi memiliki kepribadian spontan, tanpa dendam. Budaya nasional kita hendaknya mampu
mengompilasikan kepribadian spontan, terbuka dan tanpa dendam , yang dimiliki
sejumlah etnik, dan mengeliminasi budaya kepribadian tertutup dan pendendam
yang dimiliki oleh sejumlahetnik lainnya. Sejumlah sub-kultur memiliki sifat
berani mengambil risiko, sedangkan subkultur lain mementingkan kepastian yang
aman. Kepribadian dalam dinamika masa depan memerlukan kepribadian subkultur
yang memiliki sifat berani mengambil risiko. Kepribadian kompetitif dan sportif
yang materialistic perlu ditingkatkan menjadi kompetisi yang lebih meningkatkan
harkat martabat manusia termasuk kompetisi dalam berbuat kebajikan.”
Salah satu upaya
kebajikan dalam kompetisi adalah membantu yang lemah agar dapat mencapai
standar minimal untuk ikut berkompetisi dan mengondisikan agar yang kuat tidak
semakin memperlemah yang lemah. Kelompok-kelompok yang lemah dalam makna ekonomi, politik, social dan budaya atau
lemah dalam makan lainnya perlu diperlakukan dengan cara yang berbeda (dalam
arti positif) dengan pemberian perlakuan khusus agar mereka mampu berkompetisi.
Jadi perlu adanya tindakan afirmatif, yakni akan bantuan perlindungan Negara
yang konstruktif dan adil bagi warganya. Selanjutnya, disiplin diri merupakan
kepribadian terpuji untuk mencapai sukses. Sukses materialistikditingkatkan
menjadi sukses material yang menjaga
harkat martabat diri. Hemat dalam konteks berfikir materialistic perlu
dimodifikasi menjadi hemat sumberdaya alam untuk pelestarian lingkungan,
meningkatkan kemampuan nilai tambah sumber daya alam untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama. Kepribadian yang menyukai konflik, perang, dan
semacamnya yang memboroskan berbagai sumber daya alam alam dan tiadanya visi
dalam perkembangan sumber daya manusia, perlu diubah menjadi kepribadian yang
sadarpada tingkatan mutu harkat dan martabat manusia dalam hidup yang penuh
harmoni.
Casino City in East Windsor - jtmhub.com
BalasHapusThere are a number of options for gaming at 과천 출장마사지 the casino. 용인 출장마사지 There are many different casino games available for 전라북도 출장샵 real money at Casino City. 제주도 출장안마 Rating: 4 아산 출장샵 · 1 review