Jumat, 12 Juli 2013

Filsafat Pendidikan : Pendidikan sebagai Pelestarian Nilai

BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pendidikan Sebagai Pelestarian Nilai
Bahwa pendidikan adalah sebagai proses rekayasa social (Social Reengenering Process) sejatinya merupakan instrumentasi budaya dalam melanjut-kembangkan peradaban,  artinya kecuali berperan besar dalam mendorong perkembangan kemajuan IPTEK adalah juga tetap pada fungsi dasarnya sebagai penjaga dan pelestari nilai tujuan hidup manusia, yakni sebagai insan yang bukan hanya harus cerdas mengatasi tuntutan dunia material bagi kebutuhan jasmaniah-ragawi, tetapi juga cemerlang dalam memahami, mendalami keluruhan makna hidup sebagai makna manusia sebagai spiritual. Kehidupan manusia dalam memenuhi kehidupannya dapat berbuat liar, semata-mata karena memenuhi kebutuhan hajat dasar, yakni sekedar berupaya melepas diri dari ancaman bencana yang menghantui keamanan dan kesejahteraan hidup oleh karena perubahan cuaca. Oleh karena itu, ditengah kemelut dunia dan krisis panjang kehidupan kini, sebagai anak bangsa yang harus membaca catatan sejarahnya begitu penuh luka dan tetasan darah.
Di tengah persaingan dalam melepaskan diri dari ancaman krisis, semua bangsa termasuk Negara-negara dunia ketiga yang baru bangun dan merdeka di abad 20, meyakini dan memastikan pembangunan “pendidikan” sebagai investasi. Artinya, manajemen makro yang dilakukan Negara atau badan-badan di dalam masyarakat tidak melakukan keperluan ambil untung di depan (profil taking action) melainkan kemudian hari. Bahwa pengabaian pendidikan telah berubah kemerosotan. Demikian seharusnya, sesungguhnya pengalaman pahit bangsa ini cukup member pelajaran. Kenyataan sejarah kemudian membuktikan bahwa krisis ekonomi-moneter (1997) hanyalah indicator materi hingga mendorong terjadinya perubahan social melalui repormasi politik (1998). Tetapi reformasi politik, diharapkan berimplikasi pada reformasi di sector lainnya tidak semata hanya mendorong terjadinya reformasi kultural. Karena kultur adalah intisari dari buah pendidikan secara makro. Pendidikan sebagai alat perjuangan peningkatan mutu, kesiapan dan kesanggupan bersaing termasuk tantangan maju bersama dunia– tanpa saling dikalahkan dan mengalahkan. Untuk itu, pendidikan sebagai kata kuncinya harus dapat ditempatkan dan dimaknai sesuai dengan cita-cita luhur kemanusiaan, yakni pendidikan yang berorientasi maju pada penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi, dan tujuan hidup mulia sebagai umat manusia dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan dalam makna dasarnya sebagai upaya memanusiakan manusia dalam konteks universal, dan secara nasional mesti berarti juga sebagai upaya meng-Indonesiakan segenap anak bangsa Indonesia, selain tetap melestarikan nilai-nilai etniknya sendiri.
Secara konseptual dan kontekstual harus menjadi program yang utuh, fungsional dalam rangka pembentukan karakter manusia Indonesia yang bukan hanya cerdas dan terampil tapi juga berjiwa sehat dan berakhlak mulia. Artinya pendidikan secara keseluruhan mampu pada masing-masing subtansi disiplin keilmuan sendiri harus dapat mengaktualisasikan dan mengartikulasikan capaian nilai dalam konstruks pemahaman (mental) dan prilaku diri (moral) yang diharapkan oleh cita dan citra luhur (kultural) masyarakat dan bangsanya. Keterkaitan antara konsep nilai, moral termasuk norma dan pendidikan memetakan hubungan dan keududukan yang tak terpisahkan, dimana konsep nilai menjadi kerangka dasar bagi kajian moral, atau moral menjadi subtansi penting yang menempati posisi sentral di dalam kerangka nilai, dan norma sebagai kumpulan aturan yang keberadaannya menjadi petunjuk kemana sebuah pendidikan atau moral akan ditunjukan. Maka moral adalah sebagai salah satu bagian dari struktu rnilai, yakni termasuk dalam cabang etika. Etika dan moral dibentuk oleh kesepakatan atas keyakinan yang mengikatnya, yang berfungsi menjadi pedoman ekspresi nilai dan aktualisasi moral masyarakat di dalam sebuah lingkungan budaya pendudukungnya.
Moral secara harfilah berasal dari kata Mores atau Mosyang berarti adat istiadat, kebiasaan atau cara hidup. Sedangkan dalam bahasa Yunani disebut  Ethos yaitu suatu kebiasaan, adat istiadat. Dengan latar belakang yang sama asal-usulnya, kedua istilah tersebut yakni moral dan etika kerap menjadi sinonim dalam percakapan keseharian. Namun para ahli membedakan konteksmya, dimana moral menekankan kepada perbuatan atau tingkah laku manusia sedangkan etika menekankan kepada tata cara atau suatu ketentuan yang harus diikuti atau dipedomani dalam melakukan suatu tindakan.Dengan demikian, moral lebih dimaksudkan kepada perbuatan praksis manusia sedangkan etika dilahirkan sebagai aturan atau norma yang memeberikan perintah moral untuk dijalankan oleh setiap anggota komunitas pendukung sebuah system budaya dan peradaban. Maka, pendidikan mengambil peran menjadi cara-cara atau alat dan system bagi tujuan peningkatan dan pengembangan kebudayaan yang di dalamnya telah merupakan pengejawan tahan upaya penanaman dan pengembangan nilai-nilai yang dalam makna luas tersebut. Dengan demikian, pendidikan secara umum dan pendidikan secara khususnya, menududuki peran sentral dan strategis dari hajat pembangunan / pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, baik dalam skala nasional hingga dalam dimensi yang lebih luas/universal.

B.     Pendidikan dan Perubahan Sosial
perubahan sosial sebagaimana tampak kecenderungannya dari masa ke masa, dapat terjadi seperti gejala liar fenomena alam lainnya, dimana manusia sebagai mahluk alamiah dihadapkan pada berbagai  tuntutan hidup seiring perubahan alam, dan sejarah sosialnya. Faktanya berrlangsungnya eksploitasi manusia oleh manusia hingga bangsa atas bangsa lain dan kecenderungan umum manusia memanfaatkan sumber daya alam secara semena-mena. Adalah sejarah nyata yang tak dapat dibantah dan karenanya terus berlangsung sampai entah kapan.
Perubahan sosial yang terjadi didorong kemajuan kecerdasan dalam menemukan IPTEK telah mengantarkan  perubahan spektakuler dalam cara hidup. Terjadinya perubahan tersebut yang berlangsung kemudian secara  masal dapat diterima sebagai bagian dari kemajuan pendidikan. Karena pengembangan IPTEK pada awalnya merupakan hasil riset di universitas, meskipun kemudian riset universitas  menjadi jauh ketinggalan  oleh kompetisi bisnis yang dikembangkan dunia korporasi. Pendidikan,setidaknya punya peran dalam menstransformasikan  dasar-dasar dan hasil temuan IPTEK ke tangan manusia secara lebih masal. Tetapi, pendidikan menjadi instrumentassi tak berjiwa ketika dibuat dan dikembangkan oleh kepentingan teknis manusia  dalam mengusasia hajat hidup sebagaimana pantasnya  dilakukan oleh kanak-kanak. Akibatnya perubahan sosial yang terjadi lebih memberikan akses negatif, dan menjauhkan dari tujuan mulia hidup sebagai umat manusia. Jika dari sejarah panjang kita mengenal hanya kekalahan semata di mata dunia hingga kini. Pendidikan adalah investasi untuk menggapai kemenangan masa depan. Mengabaikan pendidikan, sama artinya dengan membiarkan diri bangsa ini tidak tahu bagaimana menghadapi hari depannya, dan itu adalah sebesar-besarnya kejahatan terhadap kemanusiaan dan anak bangsanya sendiri.
Untuk menggapai perubahan yang diharapkan bagi suatu bangsa, pembangunan pendidikan menjadi kata kuncinya. Menurut Kuntowijoyo (1997) terdapat tiga tahapan berkenaan dengan perubahan masyarakat, yaitu:
                 Pertama tahap masyarakat ganda, yakni ketika terpaksa ada pemilahan antara masyarakat madani (civil society) dengan masyarakat politik (political society) atau antara masyarakat dengan negara. Karena ada pemilihan ini, maka dapat terjadi negara tidak memberrikan layanan dan perrlindungan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua tahap masyarakat tunggal, yaitu ketika masyarakat madani sudah berhasil dibangun, dan ketiga, tahap masyarakat etis ( ethical society) yang merupakan tahap akhir dari perkebambangan tersebut”(Jalal & Supriadi, 2001:42)
            Pandangan Kuntowijoyo diatas, boelh jadi dipengaruhi teori Gramsci yang dengan disengaja dipakai sebagai titik masuk teori politik Islam ke teori politik barat modern. Pilihan tersebut pada tempatnya, karena untuk memahami struktur, kultur dan dinamika perkembangan masyarakat bangsa kita tidak terlepas daari dua kekeuatan yang mempengaruhinya ; pertama, pekembangan ilmu pengetahuan barat melalui perhubungan dengan bangsa-bangsa eropa dimasa kolonial hingga global dimasa kini; kedua ko-eksistensi Islam di dalamnya, dimana sebagian terbesar anak bangsa ini, merupakan pemeluk agama Islam sejak silam, selain menerima pengaruh perkembangan kebudayaan Asia lainnya. Penggunaan istilah madani, diambil dari makna dan aktualisasi kehidupan masyarakat prural yang hidup tenteram aman dan damai dalam puncak peradaban Islam di kota  Medinah di jaman Nabi Muhammad SAW
Jadi, jika itu menjadi cita-cita kita sekarang, seharusnya gayung bersambut dengan kekuatan  dalam harapan masyarakat, yang notabene telah memiliki kultur dan keyakinan yang menjadi sumbernya, yakni Islam; selain revitalisasi kebijakan operasional pembangunan yang harus digerakan oleh negara , karena negara adalah struktur sedangkan masyarakat  adalah supra strukrtur. Secara teoritik masyarakat terbentuk oleh karena kesaadaran, sedangka negara oleh kepentingan, kesadaran masyarakat dan kepentingan negara, jika dibentangkan kembali di atas nilai-nilai yang telah disepakati, sebagaimana tertuang  dalam dassar dan tujuan negara., yang sesungguhnya merefleksikan keluhuran cita-cita, kultur masyarakat dan bangsa ini yang notabene kuat beragama Islam. Tidak harus ddapat kendala yang berarti dalam meneliti pembangunan ke arah perubahan yang di cita-citakan. Untuk itu, masyarakat dan negara sebagai konstruksi kelembagaannya dipersyaratkan mampu membangun hubungan sinergik, melalui kiprah bersama membawa anak bangsa  dan naib masa depannya, kecuali dengan pendidikan tak ada jalan lainnya. Karena perubahan yang kita harapkan adalah perubahan  kearah peningkatan mutu kehidupan, bukan perubahan tak terkendali yang tidak kita inginkan seperti krisis dan bencan. Perubahan kearah peningkatan mutu hanya mungkin dicapai jika bangsa ini mampu belajr secara cerdas menyikapi tuntutan yang selalu ada. Itu semua mustahil dicapai tanpa pendidikan.
Dengan demikian, pendididkan dan perubahan sosiaal merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dimana pendidikan selalu ada dalam masyarakat pada tingkat sederhana sekalipun. Diman ada dua individu  atau lebih secara kontinnyu membuat saling berinteraksi yang menetap sebagai sebuah community, pendidikan terlahir dengan sendirinya, pertama tentu saja sebagai bagian dari naluri, namun selajutnya tantangan hidup manusia yang terus berkembang telah, memberikan pengalaman pembelajaran mulai dari penemuan  empirik hingga hasil kemampuan refleksi kekuatan akal dan pikirannya. Selanjutnya sebagai salah satu hasil perkembangan yaitum yang berjalan terus menerus, hasil pendididka mendorong terjadinya perubahan sosial, sselain perubahan sosial itu sendiri dilahirkan oelh pengalaman buruk kolektif yang dilakukan oleh kecenderungan banyak orang didalam masyarakat.
C.      Pengembangan Nilai baru dalam Paradigma Pendidikan Nasional Ke depan.
            Sungguhpun pengembangan nilai dalam pendidikan sejak lalu telah dirumuskan dengan sebaik-baiknya, kemudian dikuatkan oleh keputusan politik menjaddi landasan yuridis, serta direstui beersama menjadi komitmen moral bangsa. Nilai-nilai yang kita yakini bersama, bukanlah sebagai antipasi ke depan, dan tiadalah tentu berharap.
            Menyongsong laju perjuangan ke depan, bagi setiap diri atau kelompok manusia atauua lebih besar lagi sebagai satuan bangsa tetap diperlukan banyak hal selaain tenaga (sumberdaya). Dalam beberapa tahun terakhir selalu menempatkan indeks mutu bangsa ini  beberapa digit dibawah peringkat negara tetangga. Terhadap laporan tidak menggembirakan tersebut masih jadi pertanda baik, jika menumbuhkan sedikit rasa gundah pada setiap diri kita, sebab jika tidak, dapat dicemaskan jangan-jangan benar adanya bahwa kita tenhgah kehilangan nasionalisme. Jika ini yang terjadi, bangsa ini harus menyadari tengah berada pada krisis paling mendasar, yaknni krisis nilai. Karena itu, reformasi yang menjadi  pilihan jaman ini harus memulai menata kembali kedudukan nilai dalam strategi pembangunan nasional kita, tetapi bukan  nilainya itu sendiri. Sebab nilai dasar keyakinan kita sebagai sebuah bangsa, yakni Pancasila telah final sejak awal pendirian negara. Tetapi modeel implementasi, aktualisasi dan artikulasinya dimungkinkan diperbaharui seiring pergeseran jaman dan perkembangan yang terus berubah.
            Untuk itu, kembali membangun kesadaran kebnagsaan  tidaklah merupakan langkah mundurr, karena itu telah dicetuskan Bung Karno pada awal kemerdekaan . kemunduran justru terjadi ketika kebijakan pembangunan bangsa ini mengejar pertumbuhan ekonomi semata, anak bangsanya mabuk produk teknologi tinggi sehingga besar menjadi pasar konsumsi. Maka nilai yang menjadi acuannya bukan lagi etos menjaga harga diri, melainkan segala cara yang memudahkan urusan dan perkara. Membangun kembali karakter bangsa sungguh tidak semudah merumuskan kata-kata. Tetapi memulai mencari dasar-dasarnya paling tidak lelah dan dapat terus dilakukan, seperti diwacanakan dalam konferensi pendidikan Indonesia di jakarta (1999), yang dilanjutkan dalam diskusi Kelompok Kerja Pembaharuan Pendidikan di Bappenas ( jalal,2001). Dari wacana pertemuan para ahli tersebut terangkat kembali sejumlah konsep nilai, mulai ari nilai dassar pada konstruk nilai yang dapat dipandang baru dalma arti aktualisasinya bagi perilaku kolektif kita sebagaik sebuah bangsa.
            Berikut ini, dapat dipetikan deskripsi nilai dalam format pencarian kembali nilai pendidikan nasional untuk Indonesia masa depan  Nilia-nilai dimaksud adalah :

1)      Nilai-Nilai Dasar (Basic Values)
a)      Nilai dalam Sumber Legal
Sejak bangsa Indonesia memploklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dan menetapkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan masyarakat dan juga berfungsi menjadi sumber legal. Nilai-nilai yang ditampilkan merupakan nilai-nilai ideal : Pancasila, dan juga nilai-nilai praktis (practical values) seperti pengakuan hak warganegara untuk memperoleh suatu pendidikan, hak mendapatkan perlindungan bagi yang terlantar dan jompo , serta dengan mengangkat Bhinneka Tunggal Ika para pemimpin memilih konsep politik budaya pluralisme yang men-dahului zamannya.
b)   Nilai-nilai Inti(Core Values)
Nilai Inti bagi bangsa kita saat ini secara universal haruslah pandangan yang dilandasi dengan keyakinan untuk menjadi dasar perbuatan yang membebaskan dari segala ketergantungan. Ini adalah sebuah realitas bahwa setiap orang sejak lahir hingga dewasa ada dalam hubungan saling bergantung, antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok sebagai makhluk sosial dan juga antara manusia dengan lingkungannya. Kelebihan dari sifat manusia itu sendiri yaitu dapat berkembang utuk mengurangi sifat ketergantungan. Proses pendidikan berfungsi untuk mendewasakan manusia. jika setiap individu memiliki potensi untuk menyelesaikan sebuah permasalahan berarti individu tersebut mengurangi ketergantungan, dan jika kemampuan tersebut dikembangkan maka pendidikan berhasil mencapai satu kemenangan.
c)      Nilai-nilai inti yang ideal (ideal core Values)
Meskipun kemandirian memiliki nilai positif karena bermakna membebaskan siapa saja dari ketergantungan kepada hal-hal yang seharusnya tidak perlu jika potensi di dalam dirinya ada. Tetapi itu baru bernilai plus satu, nilai inti ideal tentu saja mensyaratkan nilai plus lebih dari satu, atau dari sekedar bertahan, melainkan harus mampu menang dalam menyerang. Itu artinya, memiliki kekuatan diri untuk membebaskan dari ketergantungan saja tetap akan kalah oleh kemampuan dalam mengatasi persaingan yang menjadi tuntutan jaman kini dan ke depan. Sehingga, merujuk pada tuntutan kebutuhan dan tantangan hidup kini dalam menghadapi persaingan, bukan lagi nilai potensial sekedar bertahan, melainkan nilai aktual yang dapat mengatasi dan memenangkan persaingan. Dalam kerangka itu, maka nilai inti ideal yang harus dikembangkan dalam pendidikan nasional, adalah bukan lain dari nilai keunggulan (excellence), sebagaimana pandangan pokja dalam petikan di bawah ini :
Kemandirian bukan merupakan nilai inti yang ideal untuk masa depan, melainkan merupakan nilai inti yang bersifat antara (intermediate core value). Yang merupakan nilai inti ideal untuk masa depan adalah keunggulan (excellence). Dalam proses pendidikan, Noeng Muhadjir menyebutkan “meta motif sukses” atau “quantum learning” menurut Bobbi De Porter. Intinya adalah usaha untuk menjaga agar tetap sukses, motivasi untuk terus berprestasi, atau prestasi yang diperoleh dijadikan energi untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi, sehingga dapat mencapai keunggulan.
d)     Nilai-nilai instrumental (instrumental values)
Selain nilai inti dan nilai inti ideal, penting juga memahami kedudukan nilai instrumental. Nilai instrumental memenuhi maknanya ketika nilai-nilai tersebut menjalani fungsi sebagai antara. Sebagai contoh, pokja yang menggambarkan penerapan nilai-nilai tersebut dalam tataran yang beragam, seperti : “ada yang dapat diterapkan sebagai nilai nilai kehidupan (living values), nilai-nilai praktik (practical values), kepribadian terpuji atau kebajikan (virtues), dan perilaku terpuji (conduct), tetapi dapat pula diterapkan pada tataran etiket.” Untuk kepentingan pendidikan kedudukan nilai instrumental ini dapat berguna dalam membina kepribadian individu dan satuan sosial untuk mendukung nilai inti (kemandirian) dan lebih lanjut menunjang nilai inti ideal (keunggulan).
Terdapat 8 nilai instrumental, yang disebutkan pokja antara lain, seperti nilai-nilai : otonomi (autonomy), kemampuan atau kecakapan (ability), kesadaran demokrasi, kreativitas, kesadaran kebersamaan kompetitif, estetis, bijak (wisdom), serta bermoral.Kedelapan nilai-nilai tersebut dalam aktualisasinya satu sama lain diisyaratkan harus saling berkaitan sehingga bermakna saling bersinergi. Untuk itu pertautan nilai-nilai tersebut seperti dijelaskan pokja dapat dipetikan dengan meringkas beberapa bagian di dalamnya, dalam rekonstruksi berikut:
Terhadap nilai instrumental ke delapan, seiring rasio reformasi atas ketidak berhasilan bangsa ini membangun moralitas di masa orde lalu (orde baru) pada tempatnya timbul pertanyaan, dan jawabnya tentu saja bagi kita adalah: bahwa sepanjang masih memilih kebersamaan dan keberbedaan dan kebersatuan dalam wadah NKRI, Pancasila bukan saja tetap menempati kedudukannya sebagai Dasar Negara, tetapi juga masih menjadi acuan moralitas dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahwa jauh pada identitas masing-masing diri kita harus memilih keteguhan sistem kepercayaan dan tata cara yang berbeda, hal tersebut tidak menjadi kendala bagi penyatuan bentuk moralitas nasional Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan delapan watak (otonomi, kecakapan, demokratis, kreatif, kompetitif, estetis, bijak, dan bermoral) tersebut, diharapkan dapat ditumbuhkan lebih lanjut tiga nilai instrumental lainnya, yaitu harkat (dignity), martabat (pride), dan keunggulan (excellence). Dengan demikian, nilai inti (kemandirian) dikembangkan yang isinya mencakup sebelas nilai instrumental dengan substansi lima living values Pancasila untuk menuju keunggulan. Pada era global, keunggulan hendaknya mengimplisitkan makna ‘mampu bersaing’
2)      Nilai-nilai aktual dalam perilaku
            Ke delapan hingga sebelas nilai-nilai instrumental tersebut di atas dikembangkan untuk menjadi acuan konseptual dalam memberi arah pada kiprah pendidikan baik secara makro hingga tataran mikro di lapangan persekolahan / lembaga pendidikan. Selanjutnya konstruksi konsep nilai-nilai tersebut harus diproyeksikan pada dimensi aktual dalam wujud perilaku hingga menjadi kepribadian setiap manusia Indonesia sebagai individu warga negara atau warga masyarakat baik pada tataran lokal, nasional hingga global.
Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang menjadi rujukannya, maka wujud perilaku dan kepribadian yang diharapkan terbentuk melalui proses pendidikan multy system di dalam dinamika pembangunan nasional kita ke depan, diharapkan mengkristal pada standar tata-laku ideal, yang oleh Pokja disebut sebagai ‘perilaku terpuji’ (Conduct) dan kepribadian terpuji (Virtues).
(a)    Perilaku Terpuji (Conduct)
Sebagai bangsa yang terbingkai dalam kebinekaan namun tetap tersatukan sepanjang sejarah hingga kini, setiap diri kita sebagai anak (suku) bangsa telah memiliki, mewarisi perilaku dan kepribadian terpuji yang dapat terus dikembangkan, dimodifikasi, dikompilasi, dipadukan selain harus diakui ada sebagian di dalamnya jenis dan sifat perilaku dan kepribadian yang seharusnya sudah ditanggalkan. Hal tersebut, dikemukakan oleh Pokja bahwa: “keunggulan perilaku dan kepribadian terpuji masing-masing suku, budaya daerah, dan agama dapat dikompilasi menjadi perilaku dan kepribadian unggul bangsa Indonesia. Dengan sejumlah modifikasi, baik dalam makna antar budaya maupun dalam makna antar era atau zaman, dapat dibangun keunggulan terpuji”. Dalam kerangka itu, pokja mengangkat sebuah contoh, misalnya “kerja keras” yang kita miliki tersebut memberi sumbangan yang efektif dalam membangun keunggulan bangsa. Sebagai contoh, Pokja mengilustrasikan sebuah gambaran sebagai berikut:
                        Perilaku kerja keras merupakan perilaku terpuji. Kerja keras yang materialistik perlu dimodifikasi menjadi kerja keras yang lebih menghargai harkat martabat manusia. Hasrat belajar tidak cukup dengan belajar saja, tetapi perlu dilengkapi dengan visi tentang belajar yang lebih strategis bagi masa depan. Kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan memilih masa depan perlu dilandaskan pada pengakuan kebebasan dan otoritas orang lain untuk berbuat sama, dan kesemuanya dalam konteks berperilaku yang jujur dan adil. Dalam konteks reformasi sekarang ini, pengakuan akan otoritas yang perlu dikembangkan adalah pengakuan otoritas yang dibangun dari akar rumput (grass root), bukan otoritas ambisi atasan.
(b)   Kepribadian terpuji (Virtues)
Demikian pula dalam ujud kepriadian terpuji, ketika kecenderungan perilaku menjadi ciri individu atau satuan etnik tertentu. Sebagai anak bangsa yang besar kita telah saling mengenal karakteristik positif dan boleh dimasukkan ke dalam jenis kepribadian terpujisekaligus tidak terpuji pada sisi lainnya. Sebagai contoh, keberanian dan keteguhan sifat dan sikap pribadi/etnik tertentu dalam membela, mempertahankan kehormatan diri, merupakan kepribadian terpuji di satu sisi tetapi juga bermuatan tidak terpuji kasus-kasus yang jarang terjadi dalam mempertahankan tradisi Carok. Selengkapnya dalam membangun kepribadian nasional terpuji, kita dapat mengembangkan agar kecenderungan perilaku yang telah menjadi cirri dan sifat kepribadian nasional. Untuk ilustrasi ini selengkapnya dapat petikan ilustrasi pokja sebagai berikut:
“…bahwa sejumlah etnik memiliki kepribadian spontan dan dendam, etnik lain memiliki kepribadian tertutup dan dendam, dan etnik lain lagi memiliki kepribadian spontan, tanpa  dendam. Budaya nasional kita hendaknya mampu mengompilasikan kepribadian spontan, terbuka dan tanpa dendam , yang dimiliki sejumlah etnik, dan mengeliminasi budaya kepribadian tertutup dan pendendam yang dimiliki oleh sejumlahetnik lainnya. Sejumlah sub-kultur memiliki sifat berani mengambil risiko, sedangkan subkultur lain mementingkan kepastian yang aman. Kepribadian dalam dinamika masa depan memerlukan kepribadian subkultur yang memiliki sifat berani mengambil risiko. Kepribadian kompetitif dan sportif yang materialistic perlu ditingkatkan menjadi kompetisi yang lebih meningkatkan harkat martabat manusia termasuk kompetisi dalam berbuat kebajikan.”


Salah satu upaya kebajikan dalam kompetisi adalah membantu yang lemah agar dapat mencapai standar minimal untuk ikut berkompetisi dan mengondisikan agar yang kuat tidak semakin memperlemah yang lemah. Kelompok-kelompok yang lemah dalam makna  ekonomi, politik, social dan budaya atau lemah dalam makan lainnya perlu diperlakukan dengan cara yang berbeda (dalam arti positif) dengan pemberian perlakuan khusus agar mereka mampu berkompetisi. Jadi perlu adanya tindakan afirmatif, yakni akan bantuan perlindungan Negara yang konstruktif dan adil bagi warganya. Selanjutnya, disiplin diri merupakan kepribadian terpuji untuk mencapai sukses. Sukses materialistikditingkatkan menjadi  sukses material yang menjaga harkat martabat diri. Hemat dalam konteks berfikir materialistic perlu dimodifikasi menjadi hemat sumberdaya alam untuk pelestarian lingkungan, meningkatkan kemampuan nilai tambah sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Kepribadian yang menyukai konflik, perang, dan semacamnya yang memboroskan berbagai sumber daya alam alam dan tiadanya visi dalam perkembangan sumber daya manusia, perlu diubah menjadi kepribadian yang sadarpada tingkatan mutu harkat dan martabat manusia dalam hidup yang penuh harmoni.

1 komentar:

  1. Casino City in East Windsor - jtmhub.com
    There are a number of options for gaming at 과천 출장마사지 the casino. 용인 출장마사지 There are many different casino games available for 전라북도 출장샵 real money at Casino City. 제주도 출장안마 Rating: 4 아산 출장샵 · ‎1 review

    BalasHapus